Pada Konferensi Potsdam (Juli—Agustus 1945), Sekutu secara
sepihak memutuskan untuk membagi Korea tanpa melakukan konsultasi dengan pihak
Korea sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan Konferensi Kairo (November 1943),
ketika Churchill, Chiang Kai-shek, dan Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan
bahwa Korea harus menjadi negara bebas dan merdeka. Selain itu, sebelumnya,
Konferensi Yalta (Februari 1945) mengizinkan Stalin membangun "zona
penyangga" Eropa — negara satelit yang berada di bawah Moskwa— sebagai
balasan karena telah membantu Amerika Serikat di Perang Pasifik melawan Jepang.
Pada tanggal 10 Agustus, Tentara Merah menguasai bagian
utara semenanjung Korea, sebagaimana yang telah disepakati, dan pada tanggal 26
Agustus berhenti di paralel utara ke-38 selama 3 minggu untuk menunggu
kedatangan pasukan Amerika Serikat di Selatan.[8] Pada hari itu pula, dengan
semakin dekatnya jadwal kapitulasi Jepang (15 Agustus), Amerika Serikat ragu
Uni Soviet akan mengakui peran mereka dalam "komisi bersama",
perjanjian pendudukan Korea yang disponsori Amerika Serikat. Sebulan
sebelumnya, untuk memenuhi persyaratan politik-militer Amerika Serikat, Kolonel
Dean Rusk dan Charles Bonesteel III membagi semenanjung Korea menjadi dua di
garis lintang 38 derajat setelah dengan terburu-buru (tiga puluh menit)
memutuskan bahwa Daerah Pendudukan AS di Korea harus setidaknya memiliki dua
pelabuhan.
Untuk menjelaskan mengapa zona demarkasi (paralel ke-38)
terlalu selatan, Rusk mengatakan, "bahkan meskipun perbatasan itu lebih ke
utara daripada yang dapat secara realistis dicapai oleh pasukan Amerika, dalam
hal terjadi perselisihan Soviet... kami merasa penting untuk menyertakan ibu
kota Korea sebagai tanggung jawab pasukan Amerika," terutama ketika
"dihadapkan dengan kurangnya jumlah pasukan AS yang tersedia, juga faktor
ruang dan waktu, yang mengakibatkan sulitnya pasukan mencapai lebih jauh ke utara
sebelum pasukan Soviet sampai terlebih dahulu.” Pasukan Soviet setuju dengan
demarkasi itu.
Dengan berkuasanya pemerintahan militer, Jenderal John R.
Hodge secara langsung mengontrol Korea Selatan (USAMGIK 1945–48). Ia memperkuat
kontrolnya dengan cara: pertama, mengembalikan kekuasaan
administrator-administrator kunci kolonial Jepang dan juga polisi
kolabolatornya; kedua menolak pengakuan USAMGIK terhadap Republik Rakyat Korea
(Agustus–September 1945)—pemerintahan sementara Korea yang mulai berkuasa di semenanjung
Korea—karena dianggap sebagai komunis. Kebijakan AS, yang menolak pemerintahan
populer di Korea, menimbulkan gejolak dalam masyarakat, dan mengakibatkan munculnya
Perang Saudara Korea. Pada 3 September 1945, Letnan Jendral Yoshio Kozuki,
komandan, Tentara Wilayah ke-17 Jepang, menghubungi Hodge, mengatakan bahwa
tentara Soviet mulai bergerak ke arah selatan lintang 38 derajat di Kaesong.
Hodge mempercayai keakuratan informasi itu.
Pada Desember 1945, Korea di bawah Komisi Bersama AS-Uni Soviet
menyetujui Konferensi Menteri Luar Negeri Moskwa (Oktober 1945), lagi-lagi
tanpa melibatkan pihak Korea. Komisi tersebut memutuskan bahwa negara tersebut
akan merdeka setelah lima tahun di bawah kepemimpinan dewan perwalian. Rakyat
Korea marah dan memulai revolusi di Selatan, beberapa hanya melakukan protes,
sisanya mengangkat senjata;[9] untuk menahannya, USAMGIK melarang demonstrasi
(8 Desember 1945) dan mencabut perlindungan hukum terhadap Pemerintahan
Revolusioner dan Komite Rakyat Republik Rakyat Korea pada 12 Desember 1945.
Penindasan kedaulatan ini mengakibatkan 8.000 pekerja kereta
api berunjuk rasa pada 23 September 1946 di Pusan, yang kemudian menyebar ke
seluruh wilayah Korea yang dikuasai AS; USAMGIK pun kehilangan kekuasaannya.
Pada 1 Oktober 1946, polisi Korea membunuh tiga mahasiswa dalam
"Pemberontakan Daegu"; rakyat menyerang balik dan membunuh 38 polisi.
Demikian pula pada tanggal 3 Oktober, sekitar 10.000 orang menyerang kantor
polisi Yeongcheon, membunuh tiga anggota polisi dan melukai 40 orang lainnya;
di tempat lain, massa membunuh 20 tuan tanah dan pejabat Korea Selatan yang
pro-Jepang. USAMGIK mendeklarasikan hukum perang untuk mengontrol Korea
Selatan.
Kelompok sayap-kanan Representative Democratic Council, yang
dipimpin oleh nasionalis Syngman Rhee, menentang perwalian Soviet-Amerika di
Korea, berpendapat bahwa setelah tiga puluh lima tahun (1910–45) dikuasai
pemerintah kolonial Jepang (pemerintah asing), rakyat Korea menolak dipimpin
pemerintahan asing lainnya, termasuk AS dan Soviet. Untuk mendapatkan
keuntungan dari memanasnya suhu perpolitikan, AS keluar dari Persetujuan
Moskwa—dan membentuk pemerintahan sipil anti-komunis di Korea Selatan. AS juga
melakukan pemilu yang kemudian ditentang, dan diboikot oleh Uni Soviet untuk
memaksa AS mematuhi Persetujuan Moskwa.[8][23][24][25]
Resultan pemerintah anti-komunis Korea Selatan yang
mengumumkan secara resmi konstitusi politik nasional (17 July 1948) memilih
Syngman Rhee (20 July 1948) sebagai presiden dan mendirikan Republik Korea Selatan
pada 15 Agustus 1948. Demikian juga di Zona Pendudukan Rusia, Uni Soviet
mendirikan pemerintahan komunis Korea Utara[8] yang dipimpin oleh Kim Il-sung.
Presiden Korea Selatan Syngman Rhee mengusir komunis dan anggota kelompok sayap
kiri dari panggung perpolitikan nasional. Merasa dicabut haknya, mereka pergi
ke daerah perbukitan dan bersiap melakukan perang gerilya melawan pemerintahan
Republik Korea yang disokong oleh Amerika Serikat.
Para nasionalis, baik Syngman Rhee dan Kim Il-Sung,
bermaksud menyatukan Korea, namun di bawah sistem politik yang dianut
masing-masing pihak. Dengan persenjataan yang lebih baik, Korea Utara berhasil
meningkatkan ketegangan di perbatasan, dan kemudian menyerang setelah
sebelumnya melakukan provokasi. Sebaliknya, Korea Selatan, dengan bantuan
terbatas dari Amerika Serikat, tidak mampu menandinginya. Pada awal masa Perang
Dingin itu, pemerintah AS menganggap semua komunis dari bangsa apapun adalah
anggota blok Komunis yang dikontrol atau setidaknya mendapat pengaruh dari
pemerintahan Moskwa; akibatnya AS mengaggap perang sipil di Korea sebagai
manuver hegemoni dari Uni Soviet.
Tentara AS mundur dari Korea tahun 1949, meninggalkan
tentara Korea Selatan dengan sedikit persenjataan. Di lain pihak, Uni Soviet
memberikan bantuan persenjataan dalam jumlah banyak ke tentara Korea Utara dan
mendukung rencana invasi Kim Il-Sung.
sumber:wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Berkomentar, jika memang kurang jelas