Singapura adalah sebuah republik parlementer dengan sistem pemerintahan parlementer unikameral] Westminster yang mewakili berbagai konstituensi. Konstitusi Singapura menetapkan demokrasi perwakilan sebagai sistem politik negara ini. Partai Aksi Rakyat (PAP) mendominasi proses politik dan telah memenangkan kekuasaan atas Parlemen di setiap pemilihan sejak menjadi pemerintahan sendiri tahun 1959. Freedom House menyebut Singapura sebagai "sebagian bebas" dalam "laporan Freedom in the World" dan The Economist menempatkan Singapura pada tingkat "rezim hibrida", ketiga dari empat peringkat dalam "Indeks Demokrasi".
Tampuk kekuasaan eksekutif dipegang oleh kabinet yang dipimpin
oleh perdana menteri. Presiden Singapura, secara historis merupakan jabatan
seremonial, diberikan hak veto tahun 1991 untuk beberapa keputusan kunci
seperti pemakaian cadangan nasional dan penunjukan jabatan yudisial. Meski
jabatan ini dipilih melalui pemilu rakyat, hanya pemilu 1993 yang pernah
diselenggarakan sampai saat ini. Cabang legislatif pemerintah dipegang oleh
parlemen.
Pemilihan parlemen di Singapura memiliki dasar pluralitas
untuk konstituensi perwakilan kelompok sejak Undang-Undang Pemilihan Parlemen
diubah tahun 1991.
Anggota parlemen (MP) terdiri dari anggota terpilih,
non-konstituensi dan dicalonkan. Mayoritas MP terpilih melalui pemilihan umum
dengan sistem pertama-melewati-pos dan mewakili Anggota Tunggal atau
Konsituensi Perwakilan Kelompok (GRC).
Singapura beberapa kali masuk sebagai salah satu negara
dengan tingkat korupsi terendah di dunia oleh Transparency International.
Meski hukum di Singapura diwariskan dari hukum Inggris dan
India Britania, dan meliputi banyak elemen hukum umum Inggris, dalam beberapa
kasus hukum ini keluar dari warisan tersebut sejak kemerdekaan. Contohnya
adalah pengadilan oleh juri dihapuskan.
Singapura memiliki hukum dan penalti yang meliputi hukuman
korporal yudisial dalam bentuk pencambukan untuk pelanggaran seperti
pemerkosaan, kekerasan, kerusuhan, penggunaan obat-obatan terlarang, vandalisme
properti, dan sejumlah pelanggaran imigrasi. Singapura juga memiliki hukuman
mati wajib untuk pembunuhan tingkat pertama, penyelundupan obat-obatan
terlarang, dan pelanggaran senjata api. Amnesty International mengatakan bahwa
"serangkaian klausa dalam Undang-Undang Penyalahgunaan Obat-Obatan
Terlarang dan Undang-Undang Pelanggaran Senjata Api berisi dugaan bersalah yang
bertentangan dengan hak dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah dan
mengikis hak pengadilan yang adil", dan memperkirakan bahwa Singapura
memiliki "kemungkinan tingkat eksekusi tertinggi di dunia bila
dibandingkan dengan jumlah penduduknya" Pemerintah menyatakan bahwa
Singapura memiliki hak berdaulat untuk menentukan sistem yudisialnya dan
memaksakan sesuatu yang dianggap sebagai hukuman yang pantas.[53] Pemerintah
memiliki sengketa dalam beberapa poin laporan Amnesty. Mereka berkata bahwa
dalam lima tahun sampai 2004, 101 warga Singapura dan 37 warga asing telah
dieksekusi, semuanya kecuali 28 orang disebabkan oleh pelanggaran obat-obatan
terlarang.[53] Amnesty menyebutkan 408 eksekusi antara 1991 dan 2003 dari
pemerintah dan sumber lain dari jumlah penduduk sebanyak empat juta jiwa.
Sebuah survei oleh Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) mengenai eksekutif bisnis ekspatriat bulan September 2008 menemukan
bahwa orang-orang yang disurvei menganggap Hong Kong dan Singapura memiliki
sistem yudisial terbaik di Asia, dengan Indonesia dan Vietnam yang terburuk:
sistem yudisial Hong Kong diberi skor 1.45 dalam skala (0 untuk terbaik dan 10
untuk terburuk); Singapura dengan skor 1.92, diikuti Jepang (3.50), Korea
Selatan, Taiwan, Filipina, Malaysia, India , Thailand, China, Vietnam dan Indonesia
PERC memberi komentar bahwa karena survei ini melibatkan
eksekutif bisnis ekspatriat daripada aktivis politik, kriteria seperti kontrak
dan perlindungan IPR lebih ditekankan: "persepsi umum ekspatriat adalah
bahwa politik setempat tidak memenuhi cara hukum perdagangan dan kriminal
dilaksanakan". PERC mencatat bahwa nilai teratas Singapura dalam survei
tersebut tidak termasuk aktivis politik yang mengkritik Partai Aksi Rakyat
(PAP) karena menggunakan pengadilan untuk membungkam kritikus.
Pada November 2010, sebuah pengadilan Singapura memberi
hukuman penjara enam minggu kepada penulis Britania, Alan Sheldrake atas
penghinaan terhadap pengadilan dalam bukunya, "Once A Jolly Hangman:
Singapore Justice In The Dock", berdasarkan wawancara dengan bekas
eksekutor pengadilan dan kritik terhadap hukuman mati di negara ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Berkomentar, jika memang kurang jelas