Upaya-upaya Gorbachev untuk merampingkan sistem komunis
menawarkan harapan, tetapi tidak dapat dikendalikan sehingga mengakibatkan
serangkaian peristiwa yang akhirnya ditutup dengan pembubaran Uni Soviet.
Kebijakan perestroika dan glasnost yang mulanya dimaksudkan sebagai alat untuk
merangsang ekonomi Soviet malah menimbulkan akibat-akibat yang tak diharapkan.
Pengenduran sensor di bawah glasnost mengakibatkan Partai
Komunis kehilangan genggamannya yang mutlak terhadap media. Tak lama kemudian,
dan yang akibatnya mempermalukan pemerintah, media mulai menyingkapkan
masalah-masalah sosial dan ekonomi yang parah yang telah lama disangkal dan
ditutup-tutupi oleh pemerintah Soviet. Masalah-masalah seperti perumahan yang
buruk, alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, polusi, pabrik-pabrik yang
sudah ketinggalan zaman dari masa Stalin dan Brezhnev, dan korupsi
kecil-kecilan hingga yang besar-besaran, yang kesemuaya selama ini telah
diabaikan oleh media resmi, mendapatkan perhatian yang semakin besar.
Laporan-laporan media juga menyingkapkan kejahatan-kejahatan yang dilakukan
oleh Stalin dan rezim Soviet, seperti misalnya Gulag dan Pembersihan Besar yang
diabaikan oleh media resmi. Lebih dari itu, perang di Afganistan yang
berkelanjutan dan kekeliruan di dalam penanganan Bencana Chernobyl 1986 lebih
jauh merusakkan kredibilitas pemerintahan Soviet pada masa ketika ketidakpuasan
kian meningkat.
Secara keseluruhan, pandangan yang sangat positif mengenai
kehidupan Soviet yang telah lama disajikan kepada publik oleh media resmi,
dengan cepat menjadi rontok, dan aspek-aspek kehidupan negatif ditampilkan ke
permukaan. Hal ini menggerogoti keyakinan publik terhadap sistem Soviet dan
merontokkan basis kekuasaan social Partai Komunis, mengancam identitas dan integritas
Uni Soviet sendiri.
Pertikaian di antara negara-negara anggota Pakta Warsawa dan
ketidakstabilan dari sekutu-sekutu baratnya, yang pertama-tama diperlihatkan
oleh bangkitnya Lech Wałęsa pada 1980 ke tampuk pimpinan serikat buruh
Solidaritas berlangsung cepat, sehingga membuat Uni Soviet tidak mampu
mengandalkan negara-negara satelitnya untuk melindungi perbatasannya, sebagai
negara-negara peredam. Pada 1989, Moskwa sudah meninggalkan Doktrin Brezhnev
dan lebih memilih kebijakan non-intervensi dalam urusan-urusan dalam negeri
sekutu-sekutu Eropa Timurnya, yang dengan fatal membuat rezim-rezim Eropa Timur
kehilangan jaminan bantuan dan intervensi Soviet apabila mereka menghadapi
pemerontakan rakyatnya. Perlahan-lahan, masing-masing negara Pakta Warsawa
menyaksikan pemerintahan Komunis mereka kalah dalam pemilihan-pemilihan umum,
dan dalam kasus Rumania, munculnya suatu pemberontakan dengan kekerasan. Pada
1991, pemerintahan-pemerintahan komunis Bulgaria, Cekoslowakia, Jerman Timur,
Hongaria, Polandia dan Rumania yang dipaksakan setelah Perang Dunia II runtuh
sementara revolusi melanda Eropa Timur.
Uni Soviet juga mulai mengalami pergolakan ketika
akibat-akibat politik dari glasnost dirasakan getarannya di seluruh negeri.
Meskipun dilakukan upaya-upaya untuk meredamnya, ketidakstabilan di Eropa Timur
mau tidak mau menyebar ke negara-negara di lingkungan Republik Sosialis Uni
Soviet. Dalam pemilu-pemilu untuk dewan-dewan regional di republik-republik Uni
Soviet, kaum nasionalis maupun para tokoh pembaruan yang radikal menyapu kursi
di dewan. sementara Gorbachev telah memperlemah sistem penindasan politik
internal, kemampuan pemerintahan sentral Moskwa untuk memaksakan kehendaknya
pada republik-republik anggota RSUS pada umumnya telah diperlemah.
Bangkitnya nasionalisme di bawah glasnost segera
membangkitkan kembali ketegangan-ketegangan etnis yang bergolak di berbagai
republik Soviet, sehingga semakin mendiskreditkan cita-cita tentang persatuan
rakyat Soviet. Sebuah contohnya terjadi pada Februari 1988, ketika pemerintahan
di Nagorno-Karabakh, suatu wilayah yang didominasi oleh etnis Armenia di
Republik Azerbaijan, meluluskan sebuah resolusi yang menyerukan unifikasi
dengan Republik Soviet Sosialis Armenia. Kekerasan terhadap orang-orang
Azerbaijan setempat dilaporkan di televisi Soviet, sehingga menimbulkan
pembantaian terhadap orang-orang Armenia di kota Sumgait, di Azerbaijan.
Ketegangan etnis (dan sentimen agama yang muncul sesudah runtuhnya uni) ini
kelak, akan menjadi cikal bakal radikalisme dan terorisme di Rusia pasca Soviet
(seperti pada perang Chechnya).
Ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi-kondisi ekonomi,
yang menjadi lebih berani karena kebebasan oleh glasnost, jauh lebih luas
daripada yang sebelumnya pada masa Soviet. Meskipun perestroika dianggap berani
dalam konteks sejarah Soviet, upaya-upaya Gorbachev untuk melakukan pembaruan
ekonomi tidak cukup radikal dan terlambat untuk membangun kembali ekonomi
negara yang sangat lesu pada akhir 1980-an. Upaya-upaya pembaruan mengalami
berbagai terobosan dalam desentralisasi, namun Gorbachev dan timnya sama sekali
tidak menyinggung unsur-unsur fundamental dari sistem Stalinis, termasuk
pengendalian harga, mata uang rubel yang tidak dapat dipertukarkan, tidak
diakuinya pemilikan pribadi, dan monopoli pemerintah atas sebagian terbesar
sarana produksi.
Pada 1990 pemerintah Soviet praktis telah kehilangan seluruh
kendali terhadap kondisi-kondisi ekonomi. Pengeluaran pemerintah meningkat
dengan tajam karena semakin meningkatnya usaha-usaha yang tidak menguntungkan
yang membutuhkan dukungan negara sementara subsidi harga konsumen juga
berlanjut. Perolehan pajak menurun karena perolehan dari penjualan vodka
merosot drastis karena kampanye anti alkohol dan karena pemerintahan republik
dan pemerintah-pemerintah setempat menahan perolehan pajak dari pemerintah
pusat di bawah semangat otonomi regional. Penghapusan kontrol pemerintah pusat
terhadap keputusan-keputusan produksi, khususnya dalam sektor barang-barang
konsumen, menyebabkan runtuhnya hubungan pemasok-produsen sementara hubungan
yang baru tidak terbentuk. Jadi, bukannya merampingkan sistem, program
desentralisasi Gorbachev menyebabkan kemacetan-kemacetan produksi yang baru.